Menu Spesial

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com



*TOK! TOK! TOK!

*TOK! TOK! TOK!

*TOK! TOK! TOK!

"TUNGGU!!' Terdengar teriakan bapak tua dari balik pintu. "Detektif Zein? Silahkan." Ucapnya dengan mulut tertutup masker hijau, dia tunjukkan sebuah jasad yang terbaring di ranjang besi, di sampingnya ada mangkuk berisi serpihan peluru yang sudah dikeluarkan dari kepalanya, tangan Naufal sibuk memainkan alat berbentuk sumpit untuk mencari sisa serpihan di otak orang malang itu.

"Kamu sudah aktif lagi?" Tanya dia sambil menaruh potongan kecil ke dalam mangkuk, "Ya, diresmikan kemarin" jawab ku."Jumlah liburnya masih banyak kan?" "Ya, saya sudah bosan", ketika aku berbalik, dia menegor, "saya turut berduka" ucapnya setelah membuka masker, "terimakasih" aku berjalan keluar sambil menenteng laporan otopsi.

"PAK! PAK! GIMANA HASILNYA?!" Teriak salah satu dari puluhan wartawan yang mengerumuni rumah sakit, aku dikawal keluar oleh empat polisi, setelah sampai di dalam mobil, Detektif Rifki memencet tombol klakson berkali kali sembari menginjak gas secara perlahan, setelah sepuluh menit menembus para pencari berita, kami kembali ke jalan raya.

"Hati-hati bro" Ucap Rifki, kami melangkahi setiap garis polisi yang dipasang di sekitar lokasi TKP hingga akhirnya sampai di rooftop tempat si penembak melancarkan aksinya kemarin sore. "Cari daftar pegawai kereta api yang punya masalah keuangan" Jelas ku sambil menunjuk jembatan kereta api yang letaknya tidak begitu jauh, "Kenapa?" Tanya dia, "Pelakunya menggunakan suara kereta untuk menyamarkan suara tembakan, dia tahu pasti kapan kereta akan lewat, dan kebetulan waktunya bertepatan dengan lewatnya konvoi Pak Nirwan di sini". Ku keluarkan sendok dan kantung plastik kecil yang selalu disiapkan untuk mengambil barang bukti, dengan sendok itu ku kerok noda kopi yang berhamburan di aspal atap, sepertinya pelaku terburu-buru melarikan diri hingga tanpa sengaja menendang gelas kopinya. "Bawa ini ke lab, kabarin gue hasilnya, mobil lu bawa aja, gue mau ke tempat lain".

"SAYAAA TIDAK AKAAAN MENGHENTIKAN KAMPANYEE INIIII, PAK NIRWAN ORANG BAIK, SAYA MENGHORMATINYA SEBAGAI LAWAN ATAUPUN KAWAN.. BERITA YANG MENGATAKAN SAYA DAN KANDIDAT LAIN MUNDUR ITU TIDAK BENAR...." Ucap Pak Setyo melalui pengeras suara di konferensi persnya. Aku duduk di ruang tunggu, menyaksikan tanya jawab antara dia dengan para penanya, sesekali dia berbisik kepada pengacaranya sebelum memberikan jawaban, apapun pertanyaannya, jawaban yang dia katakan tidak sesuai, semua ucapannya hanyalah bumbu pemanis citra agar publik juga bersimpati kepadanya. Dia tutup pertemuan itu dengan senyum nyengir yang dipaksakan ke arah puluhan kamera. Aku berdiri, mengancing jas kemudian menunggu kedatangannya.

"Mau apa kamu?" Keramahannya menghilang sedetik setelah pintu ditutup, sifat aslinya muncul setelah hanya kami berdua di ruangannya. "Saya perlu tahu rute konvoi bapak hari ini". "Untuk apa?", "Saya yakin almarhum Nirwan bukan korban terakhir, dari modus operasinya saya berfirasat bahwa penembaknya akan melakukan pembunuhan berantai dan bapak akan menjadi korban berikutnya kalau tidak saya lindungi", dia tertawa meledek, "Tahun lalu, kamu berusaha menjarain saya dengan tuduhan yang macam-macam, dan sekarang kamu justru mau melindungi saya?", "Sebagai aparat, sudah kewajiban saya untuk melindungi siapapun, terlepas dari masalah pribadi".

Setelah mendapatkan informasi yang dibutuhkan, aku menghubungi Rifki, kami berdua berangkat ke bandara terdekat, di sana sebuah helikopter dan pilot sudah disediakan, langit tidak berawan, pemandangan kota terlihat jelas dari ketinggian, di bawah sana Pak Setyo dan tim kampanyenya melaju pelan di tengah-tengah simpatisannya, dia mengangkat lengannya ke atas, mendadahi kerumunan di kanan kirinya yang memegang spanduk dan foto bertuliskan berbagai macam kalimat ajakan untuk memilihnya menjadi presiden.

"Dia gak akan meninggal hari ini" Ucap Rifki di samping ku melalui headset komunikasinya. "Tahu dari mana?", "Zein, kalau lu butuh rute konvoi doang, lu bisa minta ke gue, tapi lu tetap pergi nemuin Pak Setyo, karena lu mau melihat wajahnya sekali lagi sebelum dia meninggal, lu harus lupain masalah tahun kemarin, tanpa adanya bukti lu gak bisa bilang kalau dia dalang dibalik pembunuhan anak lu", "gue emang gapunya bukti kalau dia pelakunya, tapi dia tetap orang korup, gue gak akan berhenti sebelum dia ditangkap"

"Sssst, lihat itu!" Rifki menunjuk ke sosok pria yang berdiri di sebuah rooftop, dia menenteng tas besar di punggungnya, melalui binocular ku lihat dia mengeluarkan alat hitam panjang seperti senapan tembak jarak jauh, ku hubungi tim pelindung yang bertugas di bawah sana, mereka berlari masuk ke gedung yang ditunjuk, tidak berapa lama akhirnya mereka sampai di rooftop, tersangka mengangkat kedua tangannya di belakang kepala, polisi memborgolnya dan memeriksa barang bawaannya.

"Lapor, kami hanya menemukan teleskop" Jawab seorang polisi melalui radio komunikasi

*DUAAAAAAAAR!!!!

Pak Setyo terjatuh dari truk pickup tempat dia berdiri, orang-orang menjerit, polisi dan tentara membentuk lingkaran di sekeliling konvoi, petugas medis membawakan tandu putih, dia digotong ke ambulan. Rupanya pria mencurigakan itu hanya pengalih perhatian, dua helikopter yang sebelumnya diam di bandara, kini diterbangkan untuk membantu pencarian, sudah lebih dari sejam belum ada informasi apapun mengenai si pelaku, misi kami gagal.

Keluarga, saudara dan kerabat dekatnya bersedih mendengar kabar dukanya, sementara yang lain tidak peduli dan menganggap berita kematian yang ditayangkan di televisi hanya sebagai teman makan malam, tapi aku justru sebaliknya, aku pergi ke supermarket membeli bir dan cemilan, musuh bebuyutan ku sudah meninggal, aku akan menemui istri ku dan merayakan kemenangan ini bersamanya.

Di dalam mobil yang lampunya dimatikan ini, aku menyaksikan Jovita sedang berciuman dengan pria yang tidak ku kenal, kemudian mereka masuk ke rumah, lampu ruang tamu yang tadinya menyala kini mati. Tuhan begitu baik, secara tiba-tiba dia turunkan hujan lebat, dalam kesendirian ini aku menangis penuh kebencian dan penyesalan, ku ambil pistol di laci mobil, meletakkan ujungnya di bawah dagu, aku berbisik "Jovita.. maafkan aku", pelatuk ku tekan, "klik..." ku tekan terus menerus "klik.. klik.. klik.. klik.." *PRANK!!! Kaca jendela mobil ku dipecahkan dari luar, itu Rifki, dia tarik kerah kemejaku kemudian mengayunkan pukulan.

"KALU LU MAU MATI!! MATI SENDIRI! JANGAN DI DEPAN RUMAH DIA!!"

"MAS! CUKUP!"

Hana, istri Rifki meletakkan sapu tangan yang menutupi es batu ke pipi ku yang lebam, jarum di jam tangan menunjukkan pukul sebelas malam, sudah satu jam aku pingsan, hujan sudah berhenti, begitu juga keinginan ku untuk menangis. Ku pegang sapu tangan yang ditahan Hana, dia pergi ke dapur lalu membuatkan teh hangat, sementara itu Rifki bertolak pinggang menatap ku yang sedang terbaring di sofa.

"Ngapain lu disana?" Tanya ku sambil berusaha duduk. "Zein, Bobi sekarang sudah di surga, dia gak butuh lu lagi, Jovita juga gak akan lama sedih, seminggu dua minggu dia akan balik lagi ke pacarnya, gue? Gue akan kehilangan sahabat, nyawa gue akan berada di tangan partner baru, ingat itu lain kali kalau lu mau bunuh diri. Bro, gue ngerti lu punya banyak masalah, tapi terkadang jawaban yang kita butuh ada di depan kita, cuman kita yang gak sadar, gue saranin lu lanjutin cuti supaya pikiran lu jernih"

"Terkadang jawaban yang kita butuh ada di.... ki, makasih, titip salam untuk istri lu, gue harus pulang", "Gue anterin", "Gak, gue janji gak akan gitu lagi" Ku tatap matanya untuk memberikan keyakinan, dia mengangguk, aku berbalik membelakanginya kemudian berjalan menuju pintu keluar. Setelah sampai di rumah, aku mengakses berkas online, ternyata di TKP penembakan Setyo juga terdapat tumpahan kopi, jenisnya kopi Lanang, kopi ini berasal dari Jawa Timur, sedangkan tumpahan kopi di TKP penembakan Nirwan adalah kopi Kintamani atau nama lainnya kopi Bali. Ku pelajari kasus-kasus yang pernah menimpa kedua korban, Setyo dituduh menggelapkan uang pembelian lahan di Jawa Timur, dan Nirwan pernah dikaitkan dengan jaringan teroris pelaku bom Bali. Masih ada satu kandidat yang tersisa yaitu Okis, dia pernah dituduh melakukan korupsi uang sedekah untuk masyarakat miskin di Papua, ku cari informasi jenis kopi yang berasal dari Papua adalah kopi Wamena. Ku ambil handphone kemudian menelepon juru kampanye Okis, setelah mendapatkan rute konvoi yang akan dilakukan besok, ku buka peta lalu menandai lima kedai kopi yang terdekat dari jalanannya. Melalui laptop di atas pangkuan ini ku dapatkan menu dari kelima kedai itu, hanya satu kedai yang menyajikan kopi Wamena.

"Ini mas pesanannya, ada lagi?" Tanya pelayan dengan senyuman ramah tulusnya. "Engga mbak makasih". Pagi yang indah, orang-orang duduk santai memainkan gadgetnya sambil sesekali menyeruput kopinya, ku lihat juga suami istri berbincang hangat penuh senyuman bahagia, lalu kulihat seorang pria duduk terdiam menunduk, wajahnya terhalang topi abu-abu yang dikenakannya, tas di samping kaki kirinya berukuran besar, cukup besar untuk menyimpan senjata, kecurigaan ku semakin bertambah setelah seorang pelayan mengantarkan kopi Wamena, hanya dia satu-satunya orang yang memesan kopi itu. Ku bawa kopi mocha milik ku kemudian mendekatinya dan duduk di bangku di hadapannya, dia memandangku dengan ekspresi tegang seperti murid yang ketahuan mencontek.

"Maaf, mas siapa ya?" Tanya nya dengan nada mendesak ku untuk pindah. "Tenang, lu gausah khawatir, setelah lu berdiri, gue akan ngikutin lu, tanpa basa basi langsung aja lu tembak gue, gausah pikirin polisi, mereka udah gue alihin ke tempat lain, lagian juga lu pandai menyembunyikan diri". "Pergi sekarang sebelum gue bener-bener nembak lu" Nadanya kini mengancam. "Lu lihat suami istri itu? Gue juga punya istri, tapi sekarang dia pacaran sama pria lain, lu lihat bocah yang lagi mainin laptop itu? Gue dulu punya anak seumuran dia, sekarang dia udah meninggal, plis, buat gue bertemu dengan dia, gue mohon"

Dia berdiri, sesuai harapan ku, dia todongkan sepucuk pistol ke jidat ku, orang-orang berteriak dan berlarian meninggalkan kedai, kecuali seorang pelayan yang berdiri di belakangnya, dia layangkan nampan berisi teh panas ke kepala si pembunuh, pistolnya terlepas, dia pukul wajah si pelayan dan terus menghajarnya dengan tangan dan kakinya. "Jangan! Jangan diaa!! bunuh akuuu! Aku ingin bertemu Bobi!!" Jerit ku dalam hati, tapi sudah terlambat, sirine polisi berbunyi dan suaranya semakin mendekat, si pembunuh ditembak dengan peluru karet dari jarak jauh, belasan polisi masuk ke kedai untuk mengamankan lokasi, aku dibawa ke ambulan untuk diperiksa.

*DING!!

Pintu lift terbuka, aku berjalan keluar dalam keadaan sedikit mabuk, lantai terlihat bergoyang ke kanan kiri, pintu kamar seperti semakin menjauh, ku rogoh saku dan dengan susah payah mencari kunci kamar hotel ini, setelah lima belas menit mencari di saku yang sama akhirnya kepala ku kembali sadar, ternyata kartu kuncinya ada di saku yang lain, ku buka pintu, lampu ruangan mati, ku raba-raba tombol di dinding, setelah menekannya, terlihat seseorang duduk di kursi putar membelakangi ku, perlahan dia putar kursinya, semakin lama semakin jelas wajahnya, dia adalah pelayan yang ku temui tadi pagi, tapi pakaiannya kini berbeda, dia mengenakan kemeja putih berdasi dengan jas hitam elegan.

"Duduk.." Bisa kurasakan aura ancaman dalam perkataannya meski dia tidak memegang pistol, ku rasakan juga kebahagiaan, akhirnya, seseorang yang bisa mengabulkan impian terpendam ku untuk menemui sang pencipta. "Siapa lu?" Tanya gue setelah duduk berhadapan dengannya. "Gue Mulik, agen UDARA yang dikirim untuk memberikan lu hadiah atas keberanian lu"

"UDARA? Sial" Hati ku membatin. UDARA adalah lembaga misterius yang sudah menjadi legenda dalam dunia kepolisian, hanya dua jenis orang yang mendengar namanya secara langsung, orang yang akan meninggal, dan orang yang akan direkrut untuk menjadi agennya. Banyak komplotan teroris, geng narkoba dan jenis penjahat lain yang dimusnahkan oleh lembaga itu, baik yang melalui peradilan resmi ataupun main hakim sendiri. Sudah lama aku berusaha melacak keberadaannya tapi tidak pernah berhasil, karena mereka hanya bisa ditemukan jika mereka ingin ditemukan oleh orang tertentu, pada malam ini, diri ku.

"Apa maksud lu?" Tanya ku. "Tahun lalu lu berhasil membongkar skandal korupsi pejabat korup bernama Setyo, usaha lu berhenti setelah anak lu meninggal terbunuh, istri lu meminta cerai, jabatan lu diturunkan. Hari ini lu berhasil menangkap pelaku pembunuhan berantai, bos lu akan ngebalikin jabatan lu ke semula, reputasi lu akan kembali bersih. Itu hadiah dari kami karena lu sudah membantu mencari bukti keterlibatan Setyo" Jawabnya sambil tersenyum kecil.

Aku sadar sekarang, pelaku pembunuhan itu juga salah satu agen UDARA yang dikirim untuk menghabisi semua pejabat korup yang mencoba menjadi presiden, dia sengaja menumpahkan beragam jenis kopi di TKP supaya aku bisa melacak dan menangkapnya. Sejauh yang publik tahu sekarang dia sudah dipenjara, hanya masalah waktu sebelum orang itu dibebaskan dengan berbagai alasan.

"Terimakasih, tapi gue gak mau jabatan yang lama, gue bahkan gamau lagi kerja di situ lagi". "Tunggu! Gue belum selesai ngomong, di atas meja itu lu akan nemuin foto-foto bukti selingkuhan pacar istri lu, Zein.. lu udah mencoba bunuh diri sebanyak dua kali, selama gue masih disini lu gak akan mati, tapi misi gue sudah selesai, setelah gue pergi, Tuhan yang akan campur tangan dan gue yakin dia akan ngebiarin lu berhasil dalam percobaan yang ketiga. Gue cuman bisa ngasih tahu, kalau lu mati, istri lu akan menghabiskan hidupnya bersama pria pembohong, lu gamau begitu kan?"

"Dia udah gak mencintai gue lagi" Aku tertunduk mencoba menahan air mata, dia berdiri mendekat, memegang pundak ku, dia pegang erat otot bahu ku dan membiarkan ku mengekspresikan perasaan untuk sesaat. "Sepuluh tahun lalu gue cuman mahasiswa ingusan yang juga berniat untuk bunuh diri, sampai suatu hari seorang agen memberikan kartu ini, dia merekrut gue dan sejak itu hidup gue berubah, dari yang tadinya pencundang kini menjadi pahlawan tak dikenal. Gue pengen lu pegang kartu ini, hubungi nomor disitu kalau lu mau gabung ke UDARA. Tapi kalau lu masih mau bunuh diri, gue punya berita baik yang kedua, tadi pagi gue udah menyerahkan salinan foto-foto itu ke istri lu, dia merasa bersalah sudah meninggalkan lu, dan sekarang anak buah gue SMS, katanya dia lagi jalan ke sini, ini fotonya"

Ku lihat foto Jovita di handphone yang diperlihatkan agen Mulik, kami sudah lama berpisah sampai ku lupa betapa cantik dirinya. Aku hapus air mata di wajah kemudian berdiri dan memeluknya, kemudian kami bersalaman. Setelah dia pergi, ku ambil sebotol minyak tanah, lencana, foto-foto selingkuhan pacar Jovita dan kartu yang diberikan agen Mulik lalu pergi ke kamar mandi.

Pekerjaan ini menjauhkan ku dari keluarga, sudah cukup, ingin kubakar lencana dan kartu ini lalu menyambut Jovinta di pintu. Tapi disisi lain aku ingin melindungi negara ini dari para penjahat, ingin ku bakar lencana ku kemudian menelepon agensi UDARA agar bisa bergabung. Tapi diri ku yang lain merasa sudah letih dengan semua drama ini, ingin ku siram diri ku dengan minyak tanah dan membakar diri ini. Begitu banyak pilihan dalam waktu yang semakin tipis.

*TOK! TOK! TOK!

"Zeiiin!! Ini gue Jovita!!"

*TOK! TOK! TOK!

"ZEIIIIN!!! INI GUE JOVITA!!!"

*TOK! TOK! TOK!

"ZEIIIIN!!!"

*TOK! TOK! TOK!



[TAMAT]

Tidak ada komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.